04 June 2007

Bantuan Asing? Na’udzubillah


 Ribut-ribut bantuan asing dalam pilpres 2004 sempat memanas. Apalagi setelah presiden SBY membuat konferensi khusus membantah tuduhan miring terhadap dirinya. Dengan tegas dia menyatakan tidak pernah menerima bantuan dari Washington. “Na’udzubillah,” ujarnya. Secara hukum memang sulit membuktikan adanya dana asing tersebut, apalagi hukum di Indonesia bisa dipermainkan. Di sinilah kejujuran pemimpin menjadi penting, untuk membuktikan apakah bantuan asing itu ada atau tidak. Masalahnya apa mau?

Lepas dari pro kontra di atas, harus ada kesadaran bantuan asing terhadap capres adalah berbahaya. Tidaklah mengherankan kalau hal tersebut dilarang secara jelas dalam undang-undang. Namun bantuan asing tidak selalu illegal seperti itu. Bantuan asing yang legal seperti hutang luar negeri, sesungguhnya sama bahayanya. Kalau bantuan tidak resmi sulit dibuktikan , bantuan resmi jelas sangat mudah dibuktikan, karena secara terbukti dilakukan oleh negara, LSM , atau ormas. Adalah bentuk penyesatan seakan-akan hanya bantuan asing yang illegal yang berbahaya, sementara yang legal tidak.

Syekh Abdurrahman Al Maliki salah seorang tokoh senior Hizbut Tahrir, dalam bukunya As-Siyasatu al Iqtishodiyatu al Mutsla (Politik Ekonomi Islam), dengan tegas mengatakan sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam dan senantias membuat umat menderita, akibat bencana yang ditimbulkannya, disamping utang luar negeri itu menjadi jalan untuk menjajah suatu negara. Apa yang dikatakan oleh Syekh Abdurrahman al Maliki pada tahun 1960-an itu kemudian memang terbukti. Utang luar negeri kemudian menjadi alat penjajahan Barat. Lewat utang luar negeri, Barat kemudian memaksa negara-negara yang diberikan bantuan agar tunduk kepada kepentingan mereka.

Hal ini secara terbuka diakui John Perkins mantan anggota “perusak ekonomi” (Economic Hit Man) dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man”. Dalam bukunya itu , Perkin menulis tentang tujuan penugasannya antara lain untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar MAIN dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram (beholden) oleh para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki (favors) seperti pangakalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya).”

Lebih lanjut Perkin menulis tujuan proyek-proyek pembangunan di dunia ketiga yang diberikan utang oleh negara-negara Barat : “…tujuan membangun proyek-proyek tersebut adalah menciptakan laba sangat besar bagi para kontraktornya, dan membuat bahagia sekelompok kecil elit dari bangsa penerima utang luar negeri, sambil memastikan ketergantungan keuangan yang langgeng (long term), dan karena itu menciptakan kesetiaan politik dari negara-negara target di dunia.”

Revrisond Baswir, seorang pakar ekonom kritis, menjelaskan bahaya dari utang luar negeri ini. Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan (Pearson, 1969, Kindleberger dan Herrick 1977).

Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitaliseme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia (Erler, 1989).

Pengalaman Indonesia

Penjajahan asing di Indonesia semakin kokoh, terutama di masa orde Baru yang sangat terbuka menerima utang luar negeri. Menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok barat di Tokyo pada September 1966, yang dikenal sebagai The Paris Club, bulan Oktober 1966 Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174.juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember 1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman siaga sebesar 375 juta dollar AS.

Setelah itu, menyusul pertemuan Kelompok Paris di Amsterdam pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga sebesar 95,5 juta dollar AS (Palmer, 1978: 28). Sejak saat itu kebijakan ekonomi di Indonesia benar-benar dilakukan untuk kepentingan asing (para kreditor). Pinjaman ini membuat Indonesia semakin lemah, sehingga dengan gampang didikte oleh asing. Isi Letter of Intent yang dipaksakan oleh IMF sejak krisis ekonomi pada awal 1998, menunjukkan posisi Indonesia yang sangat lemah . Akibat mengikuti nasihat IMF, rakyat semakin menderita. Subsidi dicabut dan privatisasi membuat pelayanan umum seperti pendidikan, dan kesehatan semakin mahal.

Pasca reformasi, bukannya semakin baik, kebijakan Indonesia justru semakin kapitalistik. Keluarlah UU Migas, UU Kelistrikan, UU tentang air. UU Penanaman Modal, yang semakin mengokohkan kebijakan kapitalisme di Indonesia. Amendemen UUD 2002 sarat dengan kepentingan asing, didukung NDI (National Democration Institute) dengan program Constitutional Reform dana USD 4,4 milyar . Intervensi asing juga tampak dalam pembuatan RUU Migas yang didanai oleh USAID dan IDB . The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000 (www. usaid. gov). Hasil nyata dari UU Migas ini adalah dinaikkannya BBM yang mensengsarakan masyarakat.

Tidak hanya aspek ekonomi, bantuan asing juga masuk ke sektor lain. Sebagai bagian dari privatisasi dan komersialisasi pendidikan , bank dunia memberikan bantuan. Berbagai program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia.

IMHERE (Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency) dibiayai melalui pinjaman (Loan) dari Bank Dunia. Proyek ini dengan biaya total US$ 98.267.000 . Yang menjadi salah satu indikator keberhasilan proyek-proyek ini adalah keluarnya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) paling lambat tahun 2010. Implikasinya, pendidikan di Indonesia akan semakin mahal dan liberal.

Bantuan asing juga dikeluarkan untuk merubah isi krikulum pendidikan agama Islam di Indonesia. Tujuannya, adalah perombakan ajaran Islam sehingga semakin pro Liberal dan mendukung penuh kebijakan penjajahan Barat. Hal ini terungkap dalam memo Donald Rumsfeld, 16 Oktober 2003 yang isinya : AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Republika, 3/12/2005).

Lebih jauh David E Kaplan menulis bantuan puluhan juta dollar diberikan oleh Washington, bukan hanya untuk mempengaruhi masyarakat Islam tapi juga untuk merombak ajaran Islam itu sendiri. “Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…" (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005)

Sebagai bagian dari proyek liberalisasi Indonesia, beberapa perguruan tinggi dan LSM juga mendapat bantuan asing. Isu-isu yang kemudian sering diangkat antara lain isu gender, HAM, Islam moderat, Civil Society dan lain-lain. Hal ini tampak dalam Program The Asia Foundation yang memberikan dana buat LSM untuk mempromosikan konsep Islam ala Amerika yang berbasis pada demokrasi, anti kekerasan dan toleransi beragama (The Foundation now support over 30 Muslim non-Government organization (NGO), in their efforts to promote the concept that Islamic values can the basis for a democratic political system, non-violence, and religious tolerance… .” - http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html)

The Asia Foundation, yayasan ini ditengarai banyak mendanai kegiatan-kegiatan dalam rangka penyebaran paham kapitalisme dan sejenisnya. Yang paling nampak mencolok keterlibatan The Asia Foundation bagaimana dia mem-back up Tim Pengarasutaman Gender (PUG) bentukan Departemen Agama, yang kemudian berhasil menyusun draf Kompilasi Hukum Islam yang isinya kemudian menimbulkan kontroversial.

Ada dugaan kuat The Asia Foundation ini memiliki hubungan kuat denga CIA. C Roland G. Simbulan dalam tulisannya CIA’s Hidden History in the Philippines juga menjelaskan bahwa yang memainkan peran CIA yang paling menonjol di Manila adalah The Asia Foundation. Pernyataan ini dinilai cukup valid, karena didasari oleh pernyataan seorang anggota Departemen Birokrasi Amerika, William Blum. Dalam sebuah resensi buku yang berjudul Asia Foundation is the principal CIA front, dalam salah satu buku seorang jurnalis investigasi majalah Times, Raymond Bonner, yang berjudul: Waltzing with a Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy, menyatakan bahwa “Asia Foundation adalah bentukan dan kedok CIA!”.

Sementara itu, lembaga donor AS yang lain, USAID membantu lebih dari 30 organisasi Islam di Indonesia. Diantara programnya: produksi media, workshop untuk para dai, reformasi kurikulum pesantren hingga universitas… AS juga menggunakan Ford Foundation dan Asia Foundation bekerjasama dengan lembaga/ormas-ormas Islam tertentu untuk memuluskan program kampanye “liberal Islam”. (Lihat, Artikel Nuim Hidayat, “Propaganda Penjinakan”, Republika, 29 Oktober 2005)

Pertukaran budaya dan pemberian beasiswa seperti Fullbright juga tidak lepas dari kepentingan asing khususnya AS. Jack Plano dalam The International Relation Dictionary (1982) menjelaskan bahwa program ini dikembangkan oleh pemerintah AS sejak tahun 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap AS. Joseph S Nye dalam Soft Power (2004), mengutip pernyataan mantan Menlu AS Collin Powel, menyatakan bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi ’diplomat’ AS kelak.

Walhasil, penyebaran ide-ide liberal seperti Demokrasi, HAM, dan Pluralisme adalah sejalan dengan kepentingan politik luar negeri AS seperti yang diungkap oleh Bush : ”Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” ( Pidato Bush; Kompas; 6/11/2004) . [fw/editorial-hti/syabab.com]

0 comments:

 
Fastabiqul khairat © 2007 Template feito por Templates para Você