06 September 2007

THE BIGEST LOVE
‘TILL THE END OF THE WORLD


Cinta, di banyak waktu dan kesempatan orang berbeda dalam mengartikannya. Manusia tidak jatuh ke dalam cinta juga tidak keluar darinya. Namun, manusia tumbuh dan besar dalam cinta. Cinta, laksana air yang terus mengalir menyusuri hamparan bumi, ia ibarat udara yang mengisi ruang-ruang kosong.

Cinta, membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Cinta juga mengajarkan kepada kita bagaimana arti sebuah pengorbanan dan memahami betapa besar kekuatan yang dihasilkannya. Dengan cinta dunia yang penat ini terasa indah. Ia juga mengajarkan kepada kita bagaimana caranya harus jujur dan berkorban, memberi dan menerima, melepas dan mempertahankan.

Telah banyak tinta sejarah mencatat kisah-kisah yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Badung Bondowoso, tidak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan membangun seribu candi untuk Lorojongrang seorang. Sangkuriang pun tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih, yang ternyata ibunya sendiri. Di India, Tajmahal bangunan yang maha megah juga didirikan karena cinta. Di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih, buah hati sang raja. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.
Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudra kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh konkrit dalam kehidupan, lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Pagi itu Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal kepada kalian, Sunnah dan Alquran. Barang siapa mencinta sunnahku, berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bersama akan bersama-sama masuk surga bersama aku.”

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafasnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua“, desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menyelesaikan menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadlal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar saat itu, seluruh yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu jika mungkin.

Matahari kian meninggi, tetapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat yang membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?“ tanyanya.
Tapi Fathimah tidak mengizinkanya masuk.
“Maafkanlah, Ayahku sedang demam”, kata Fathimah yang membalikkan badannya dan menutup pintu.
Kemudian dia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fathimah, “Siapakah itu wahai anakku?“
“Tak tahulah aku ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya”, tutur Fathimah lembut.
Lalu Rasulullah memandang putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia, dialah Malaikat Maut”, kata Rasulullah.
Fathimah pun menahan ledakan tangis. Malaikat Maut sama menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit menyambut ruh kekasih Allah.
“Jibril apa hakku nanti dihadapan Allah nanti?“ tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malikat telah menanti ruhmu. Semua surga telah terbuka lebar menanti kedatanganmu”, kata Jibril.
Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib ummatku kelak?” Rasulullah balik bertanya.
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku : ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali ummat Muhammad telah berada di dalamnya”, kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat saat Malaikat Maut melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya sakarotul maut ini”, lirih Rasulullah mengaduh.
Fathimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
“Jijikah engkau melihatku sehingga kau palingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal”, kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya, Allah dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada ummatku”, rintih Rasulullah menahan sakit yang tak terkira.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushikum bi sholati wa maa malakat aiy manukum, peliharalah sholat dan santuni orang-orang lemah diantaramu”, desahnya.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fathimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii....ummatii...ummatii ..”
Dan putuslah kembang hidup manusia mulai itu.

KINI MAMPUKAH KITA MENCINTAI BELIAU
BESERTA AJARANNYA
SEPERTI BELIAU MENCINTAI KITA(UMMATNYA)?

04 September 2007

Menjadikan Hidup Punya Makna

Oleh : MR. Kurnia

Hidup dapat dirasakan tapi sulit didefinisikan. Dalam hidup ini, manusia dan hewan sama saja. Sama-sama makan, minum, bergerak, berkembang biak, menyayangi anak, dan berinteraksi satu sama lainnya. Bedanya, hewan melakukan semua itu dengan sekehendak hatinya, sedangkan manusia ada yang melakukan dengan sekehendaknya dan ada pula yang diatur dengan aturan Allah SWT Penciptanya. Bila manusia dalam menjalani hidupnya ini hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata berarti tidak ada bedanya oran tersebut dengan hewan. Demikian pula bila seseorang menjalani hidup ini seenak perutnya, bebas tanpa aturan, memperturutkan logika dan hawa nafsunya, serta melupakan aturan Allah SWT, saat itu orang tadi tidak dapat dibedakan dengan hewan. Berkaitan dengan ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an Al-A’rof [7] ayat 179 yang artinya:

Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qulub, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Alllah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu seperti binantang ternak, bahkan mereka libih sesat lagi. Mereka itu orang-orang yang lalai”

Dalam Hal ini Imam Ibnu Katsir, memaknai ayat ini tadi dengan menyatakan bahwa Allah SWT menyediakan jahanam bagi manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni jahanam. Mereka demikian dikarenakan alat indera yang sebenarnya telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai jalan datangnya hidayah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Sebab, mereka itu buta, tuli dan bisu dari mengikuti petunjuk dari Allah SWT. Mereka yang tidak mendengarkan kebenaran (Islam), tidak mengikuti kebenaran (Islam), dan tidak mengikuti petunjuk Allah SWT lakasana hewan berjalan yang alat-alat indranya tadi tidak bermanfaat sedikitpun kecuali untuk perkara-perkara yang diperlukannya secara lahiriyah di dunia. Mereka ketika diseru untuk beriman tidak mengindahkan. Persis seperti hewan bahkan mereka lebih sesat dari binatang. Binatang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipergunakan manusia demi kepentingannya, dan hewan memenuhinya. Sedangkan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, namun mereka malah kufur kepadanya.

Selain pemaparan dari Imam Ibnu Katsir diatas, jelaslah ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak mempergunakan qulubnya (akal dan hatinya) untuk mengkaji, memikirkan, dan menghayati Islam yang terdapat dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai teks kebenaran yang diwahyukan oleh Allah SWT niscaya dia akan seperti hewan. Demikian pula orang yang tidak mempergunakan telinga dan matanya untuk mendengar, melihat dan mencari kebenaran. Sungguh hal ini benar-benar merupakan ejekan yang luar biasa. Andai saja ada orang yang mengatakan kepada kita bahwa kita seperti babi atau sapi, apa perasaan kita? Pasti Marah! Sekarang, Allah menyatakan bahwa orang yang tidak memahami, tidak tunduk dan tidak patuh kepada wahyuNya disebut hewan bahkan lebih sesat dari hewan. Padahal sebinal-binalnya hewan tidak ada yang homo atau lesbian sesama hewan! Sejahat-jahatnya hewan tidak ada yang mencincang anaknya sendiri! Astagfirullahal ‘Azhim!

Bila demikian, sungguh adanya aqal, hati, penglihatan dan pendengaran pada orang seperti tadi sama dengan tidak adanya. Seperti dalam firman Allah:

Dan kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah” (Qs. Al-Ahqaf [46]: 26).

Untuk itu tidak ada jalan lain selain mengguankan aqal dan hati untuk memahami kebenaran, mata untuk mencari dan melihat kebenaran, dan telinga senantiasa mendengar kebenaran.

Dan kebenaran itu adalah apa-apa yang datang dari Allah dan itu ada dalam Islam, seperti dalam firmannya:

Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (Qs. Al-Baqarah [2]: 147).

Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dien (agama, sistem hidup), niscaya ditolaknya apapun darinya dan ia di akhirat termasuk orang yang rugi” (Qs. Ali-Imron [3]: 85).

Dengan kata lain, segenap potensi yang dimilikinya itu digunakan untuk memahami dan menghayati Islam untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berkaitan dengan hal tersebut, Allah SWT menyatakan dalam firmannya:

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepadaku” (Qs. Adz Dzariat [5]: 56).

Jelas sekali, Allah SWT sebagai pencipta menusia menetapkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepadaNya. Padahal ibadah itu maknanya taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkanNya. Jadi manusia ini hidup (ada didunia ini) semata-mata tunduk dan patuh kepada aturan dan hukum-hukum Allah SWT dalam semua perkara: aqidah, ibadah mahdhah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan budaya.

Melalui ibadah seperti inilah manusia akan berbeda dengan hewan bahkan melambung jauh lebih tinggi daripada derajat hewan. Hewan makan, manusia juga makan. Tetapi manusia tidak sembarangan makan. Ia makan hanya makanan yang halal dan baik, memperolehnya dengan cara yang dibolehkan Allah SWT, cara makannnya pun tidak sembarangan. Hewan melampiaskan birahi, demikian pula manusia. Namun manusia hanya melampiaskan birahi hanya kepada perempuan (apabila dia laki-laki), itupun sudah dinikahi terlebih dahulu sesuai dengan hukum Islam. Setelah pernikahanpun diurusnya istrinya tersebut, dididiknya, tujuannyapun bukan bersifat seksual melainkan untuk mendapatkan keturunan yang shalih. Hewan hidup bersama dengan sesamanya. Demikian pula hanya manusia. Bedanya, dalam kehidupannya hewan tidak diatur secara formal, yang kuat itulah yang menang dan berkuasa. Sebaliknya, manusia diatur oleh aturan-aturan Allah SWT. Kedaulatan ada ditangan syara’, sehingga yang menentukan halal haram, baik buruk, terpuji tercela, serta mana yang boleh ada ditengah masyarakat dan mana yang tidak boleh ada hanyalah Allah SWT yang diketahui lewat hukum-hukumnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas.

Sekarang pertanyaan yang muncul, kapan tunduk, patuh dan taat kepada aturan Allah SWT itu? Marilah kita mengingat perkataan Rosulullah Dalam sebuah hadits:

Bertaqwalah engkau dimanapun engkau berada!” [HR. Turmudzi].

Jadi jawabannya sangat tegas, yaitu setiap saat. Sungguh sabda Rosulullah SAW itu sangat gamblang untuk dipahami. Kita juga harus mengingat bahwasannya Allah SWT itu menghisab seluruh perbuatan manusia. Allah tidak hanya akan menghisab aktivitas kita ketika dimasjid saja atau sedang di pengajian. Sebaliknya, Dia Dzat Maha Tahu akan meminta pertanggungjawaban manusia dimanapun saja dan kapan saja, baik di kamar mandi, di tengah rumah, di kendaraan, di jalan, di pasar, di kampus, di ruang pengadilan, di gedung-gedung pemerintahan, dan di semua tempat lainnya. Semua perbuatan akan diminta pertanggungjawabannya apakah sesuai dengan Islam atau tidak, apakah sesuai dengan visi dan misi hidup didunia yaitu ibadah, ataukah tidak. Allah SWT berfirman:

Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Qs. Ath-Thur [52]: 21).

Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Qs. Al-Muddatstsir [74]: 38).

Bila hidup manusia sesuai dengan tugas yang diberikan Allah SWT kepada manusia maka hidupnya akan bahagia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila tidak, ia akan nestapa di dunia dan di akhirat. Untuk itu patut direnungkan firman Allah SWT berikut:

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 16).

Sungguh, ayat di atas merupakan pertanyaan retoris bagi mereka yang tetap tidak mau menundukkan dirinya kepada aturan-aturan Allah SWT. Sekarang sudah tiba waktunya! Dan Allah menyindir orang beriman “Belumkah datang waktunya…” Benar, sekarang sudah tiba waktunya. Kapan lagi ketundukan, kepatuhan, dan ketundukan kepada Allah SWT bila bukan sekarang. Besok lusa mungkin nyawa sudah tiada. Jauh-jauh sebelumnya Rasulullah SAW mengingatkan:

Bersegerahlah kalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal: apakah yang kalian nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang sangat berat dan sangat menakutkan.” [HR. At-Turmudzi].

Benar, tidak ada yang perlu ditunggu! Kini saatnya memproklamirkan: hidupku untuk ibadah! Hanya dengan langkah begini hidup menjadi punya makna. Bila tidak, apa bedanya dengan hidup hewan. Na’udzu billahi min dzalik.




Muslim Teoritis

Oleh : Azhari

Betapa banyak orang yang tahu tentang Islam, ia tahu bahwa ada perintah Allah swt (wajib) tetapi masih diabaikannya, ia tahu larangan Allah swt (haram) tetapi masih dikerjakannya. Ia telah menjadi muslim/muslimah teoritis, baginya Islam hanya setumpuk informasi yang ia simpan digudang memorinya. Islam menjadi kering tanpa makna!, tidak aplikatif dalam kehidupannya!

Mereka bisa jadi, tidak menjalankan syari’at Allah swt dengan alasan belum memperoleh hidayah Allah swt. Jangan!, jangan kambing-hitamkan Allah swt yang tidak memberikan hidayah, jangan tambah lagi kemaksiaatan baru dengan berburuk sangka kepada Allah swt. Allah swt telah menurunkan hidayah-Nya kesetiap manusia, manusia saja yang ingkar dan sombong serta tidak mau membuka pintu hatinya menerima kebenaran yang datangnya dari Allah swt.

Lihatlah para artis itu betapa islami penampilannya dengan jilbab selama bulan Ramadhan, setelah Ramadhan berlalu ia tanggalkan semuanya dan kembali kezaman jahiliyah dengan aurat bertebaran. Ia pikir, Islam hanya ada dibulan Ramadhan?

Lihatlah remaja putri dan Ibu-ibu shalat tarawih dimesjid, dengan mukena indah dan rapi menutup aurat. Tetapi sepulang dari mesjid ia tanggalkan mukena itu, yang tersisa baju kaos ketat dan celana pendek diatas lutut. Ia pikir, Islam hanya ada dimesjid?

Islam tidak terbatas dalam waktu tertentu, yakni dibulan Ramadhan saja. Islam tidak terbatas ditempat tertentu, yakni dimesjid saja. Islam berlaku disegala zaman dan disemua tempat. Syari’at yang berlaku di negeri Arab juga berlaku disini, syari’at yang berlaku dizaman Rasulullah saw juga berlaku dizaman ini. Judi dizaman Rasulullah dengan panah dan sekarang dengan pacuan kuda. Tekniknya saja yang berkembang, tetapi tetap judi dan haram hukumnya.

Satu masalah kecil masuk WC, diatur oleh syari’at Allah swt yang mulia. Untuk masuk WC baca do’a, masuk dengan kaki kiri, ada adab dalam WC, keluar WC baca do’a lagi dan keluar dengan kaki kanan. Perhatikan!, satu masalah kecil MASUK WC ada aturannya dalam Islam (Al-Quran dan sunnah), mustahil Islam tidak mengatur MASUK PASAR untuk berdagang, MASUK PERUSAHAAN untuk bekerja, MASUK RUMAH TANGGA disaat menikah, MASUK NEGARA untuk mengurus rakyat, MASUK MASYARAKAT untuk bersosialisasi, dan MASUK-MASUK yang lainnya. Maha Suci Allah swt atas kealpaan dalam mengatur urusan manusia yang diciptakan-Nya, tidak ada secuil urusan-pun yang terlupakan oleh Allah swt.

Sehingga, setiap sisi kehidupan kita harus mengikuti syari’at Allah swt, apakah aktifitas individu, jama’ah atau negara, sama-sama harus mengikuti aturan Allah swt (syari’at Islam). Lantas, bagaimana kita tahu telah melanggar aturan atau tidak, jika kita tidak mempelajari aturan itu. Itulah gunanya untuk mengkaji Islam lebih dalam, agar kita tahu adakah rambu-rambu Allah swt yang telah dilanggar.

Karena setiap amal kecil maupun besar, tampak maupun tidak tampak, dahulu maupun sekarang, akan diperhitungkan di yaumil akhir nanti (akhirat). Sebesar atom kebaikan akan dihitung sebagai pahala, sebesar atom kemaksiaatan akan dihitung sebagai dosa.

Maka siapa saja mengerjakan kebaikan sebaerat dzarrahpun, niscaya akan melihat (balasan)nya, dan siapa saja yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Al-Zalzalah 7-8).

Untuk itu, jangan jadi muslim/muslimah teoritis, tingkatkan pemahaman keislaman kita (aqliyah), kemudian laksanakan dalam setiap gerak langkah kehidupan kita (nafsiyah). Sehingga Islam merasuk kedalam jiwa, mengalir dalam darah, memancar dalam setiap ucapan dan perbuatan, sehingga muslim/muslimah itu bagaikan Islam yang berjalan.

Mari menuju kesempurnaan Islam dengan aqliyah dan nafsiyah Islam tadi, karena kita juga ingin memperoleh hasil yang sempurna, yakni syurga Allah swt.

 
Fastabiqul khairat © 2007 Template feito por Templates para Você