Kaidah-kaidah Islam Menyikapi Budaya Asing
Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Di tengah masyarakat masih terdapat kekaburan pemahaman dalam mengidentifikasi mana budaya Islam dan mana budaya asing. Sehinga budaya asing begitu saja menyerang masyarakat muslim saat ini. Bagaiamana sebenarnya kaidah-kaidah Islam menyikapi budaya asing ini? Tulisan berikut akan menjelaskan perkara ini. [pengantar redaksi]
Pendahuluan : Istilah ”Budaya”
Istilah budaya dalam literatur keislaman Bahasa Arab sering disebut dengan istilah ”al hadharah”. Secara ringkas al-hadharah artinya adalah thariqah mu’ayyanah fi al-’aiys (metode hidup yang khas), baik di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya (Al-Qashash, 1996). Dan karena cara hidup yang khas itu lahir dari suatu pandangan hidup yang khas, maka substansi budaya (al-hadharah) sebenarnya adalah pandangan hidup yang khas (mafahim ’an al-hayah). Karena itulah sebagian pemikir muslim seperti Al-Qashash dalam Usus An-Nahdhah Ar-Rasyidah (1996) mendefinisikan al-hadharah sebagian sekumpulan pandangan hidup yang khas (majmu’ al-mafahim ’an al-hayah).
Dari sinilah dapat kita pahami batasan Budaya Barat (al-hadharah al-gharbiyah) dan budaya Islam (al-hadharah al-islamiyah). Budaya Barat merupakan sekumpulan pandangan hidup yang khas dari negara-negara Barat, seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan sebagainya. Sedangkan Budaya Islam merupakan sekumpulan pandangan hidup yang khas menurut perspektif Islam, seperti Aqidah Islam dan Syariah Islam beserta segala ide-ide cabangnya.
Istilah lain yang dekat dengan al-hadharah adalah ats-tsaqafah. Jika al-hadharah kadang diterjemahkan juga sebagai peradaban (selain diterjemahkan sebagai budaya), maka ats-tsaqafah sering juga diterjemahkan sebagai budaya dalam bahasa Indonesia. Kata ats-tsaqafah secara umum didefinisikan sebagai segala pengetahuan non eksperimental. dalam istilah Waqar Ahmed Husaini (2002) dalam Islamic Sciences, tsaqafah disebut ilmu-ilmu sosial humaniora (humanistic social sciences). An-Nabhani (1973) dalam At-Tafkir mendefinisikan ats-tsaqafah sebagai segala pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (ikhbar), penyimpulan (istinbath), dan penyampaian transmisional (talaqqiy). Contohnya adalah ilmu sejarah, hukum, filsafat, sosiologi, dan sebagainya. Dengan demikian istilah ats-tsaqafah diposisikan sebagai lawan dari ilmu-ilmu eksperimental yang diistilahkan dengan sebutan al-’ilmu (natural sciences), semisal fisika dan kimia.
Dari istilah ats-tsaqafah ini lalu lahir istilah ats-tsaqafah al-islamiyah yang berarti ilmu-ilmu keislaman yang berpangkal dari Aqidah Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu mustholah hadits, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dan sebagainya. Sedangkan lawannya, dapat disebut ats-tsaqafah al-ajnabiyah (tsaqafah asing) atau ats-tsaqafah al-gharbiyah (tsaqafah Barat). Misalnya ilmu ekonomi Barat (misal mazhab Keynessian atau Neoliberalisme), ilmu politik Barat, ilmu hukum Barat (Continental /Anglo Saxon), dan seterusnya.
Istilah al-hadharah dan ats-tsaqafah berhubungan erat. Ats-tsaqafah dapat dikatakan sebagai ”bahan mentah” dari sebuah al-hadharah. Jika suatu komunitas masyarakat memahami dan meyakini tsaqafah tertentu, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka, maka jadilah tsaqafah itu sebagai hadharah (cara hidup) bagi komunitas tersebut. Jika komunitas itu hanya memahami tapi tidak meyakini tsaqafah itu, maka tsaqafah itu hanya berhenti sebagai pengetahuan belaka, tidak menjelma sebagai suatu cara hidup (hadharah).
Kaidah Islam Menyikapi Budaya Asing
Saat ini umat Islam di mana pun juga tengah menghadapi ujian yang sangat berat. Mereka tidak lagi hidup dalam budaya sendiri (al-hadharah al-islamiyah), tapi hidup dalam dominasi budaya Barat yang sekular (al-hadharah al-gharbiyah), di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, pergaulan, dan sebagainya. Seorang muslim ibarat ikan yang tidak lagi hidup dalam habitatnya yang alami yaitu air, tapi dipaksa hidup di darat, di luar habitatnya. Ikan ini pasti akan segera mati. Artinya, seorang muslim akan tergerogoti dan tergerus jatidiri keislamannya sedikit demi sedikit.
Kehidupan yang tidak wajar ini tentu akan menimbulkan kehancuran bagi tiap-tiap individu muslim. Kecuali mereka yang mampu bertahan dan berpegang teguh dengan Budaya Islam serta mampu bertahan dari cengkeraman dan dominasi budaya sekuler. Di sinilah diperlukan pemahaman tentang kaidah-kaidah Islam dalam menyikapi budaya Barat sekular saat ini, agar seorang muslim dapat istiqamah berbudaya Islam dan tidak terjerumus ke dalam Budaya Barat yang sesat.
Berikut ini di antara kaidah-kaidah Islam dalam menyikapi budaya asing seperti Budaya Barat sekular :
1. Islam wajib dipahami sebagai agama yang komprehensif (syumuliyah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam berbagai hubungannya, dan bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah).
Kaidah ini sangat penting dimengerti, karena berfungsi untuk membedakan secara kontras antara Islam dengan ”agama” dalam pengertian Barat yang dipahami secara sekular. Agama dalam kacamata Barat hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, tapi tidak mengatur aspek ekonomi, politik, sosial, dan seterusnya.
Berbeda dengan perspektif Barat itu, Islam tidak mengenal dan mengakui sekularisme. Islam adalah agama yang sempurna (lihat QS al-Maidah ; 3) dan telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Firman Allah SWT (artinya) : ”Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu...” (TQS An-Nahl : 89).
2. Aqidah Islam adalah asas/sumber bagi segala pemikiran Islam.
Kaidah ini berarti bahwa Aqidah Islam yang berpangkal pada kalimat Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah wajib dijadikan asas atau sumber bagi segala pemikiran bagi seorang muslim.
Dengan kata lain, seorang muslim tidak boleh mengambil asas / sumber pemikiran di luar Aqidah Islam. Misalnya, menjadikan aqidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai asas bagi berbagai konsep yang digagas oleh seorang muslim. Orang muslim yang berpikiran liberal dengan berbagai gagasannya seperti kebebasan beragama, sesungguhnya telah mengambil aqidah sekularisme (bukan Aqidah Islam) sebagai asas atau sumber pemikirannya. Ini tentu bertentangan dengan Islam, karena segala pemikiran dalam Islam wajib merujuk kepada Aqidah Islam yang termaktub dalam al-Qur`an dan As-Sunnah.
Firman Allah SWT (artinya) : ”Dan apa saja yang kamu perselisihkan tentang sesuatu, maka hukumnya terserah kepada Allah.” (QS Asy-Syura : 10).
Firman Allah SWT (artinya) ”Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah).” (QS An-Nisaa` : 59).
3. Aqidah Islam adalah standar untuk menilai benar salahnya segala pemikiran yang ada di dunia.
Selain sebagai asas atau sumber pemikiran Islam, Aqidah Islam juga berfungsi sebagai standar (miqyas / mi’yar) berbagai pemikiran yang ada di dunia. surat Al-Baqarah ayat 185, al-Qur`an disebut sebagai ”furqan”. Artinya, sebagai pembeda untuk membedakan antara yang haq dengan yang batil.
Maka dari itu, berbeda dengan pandangan paham Pluralisme yang cenderung menganggap benar semua agama, dalam pandangan Islam agama Yahudi dan Nashrani adalah tidak benar alias batil karena dinyatakan dengan tegas kekufurannya oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah : 73; QS At-Taubah : 29; QS Al-Bayyinah : 6). Hanya Islamlah agama yang benar (QS Ali ’Imran : 19).
Demikian pula paham-paham modern Barat, seperti demokrasi, wajib dinilai dengan kacamata Aqidah Islam. Dalam Islam demokrasi adalah ide batil dan kufur. Sebab prinsip demokrasi menyatakan bahwa manusialah yang berhak membuat hukum (kedaulatan rakyat). Sedang dalam Islam, hanya Allah SWT saja yang berhak membuat hukum, bukan yang lain.
Firman Allah SWT (artinya): ”Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.” (QS al-An’am : 57).
4. Syariah Islam (halal haram) adalah standar untuk menilai segala perbuatan muslim.
Kaidah ini menegaskan bahwa bagi seorang muslim, segala macam perbuatannya wajib diukur dengan standar syariah Islam (halal haram). Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Muhammad Muhammad Ismail (1958) merumuskan sebuah kaidah syariah untuk menilai baik buruknya perbuatan muslim. Bunyinya: Al-hasanu maa hassanahu asy-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu asy-syar’u. (Perbuatan baik (terpuji) adalah apa yang baik menurut syariah dan perbuatan yang buruk (tercela) adalah apa yang buruk menurut syariah.
Maka dari itu, berpacaran adalah buruk, karena syariah mengharamkan segala perbuatan yang mendekati zina, apalagi zinanya itu sendiri (QS al-Isra’ : 32). Tidak memakai kerudung (khimar) dan jilbab (jubah) adalah buruk, karena keduanya telah diwajibkan dalam Islam (lihat QS Al-Ahzab : 59; QS An-Nuur : 31). Demikian juga berdua-duan (khalwat) dengan lain jenis bukan mahram adalah buruk, karena perbuatan itu telah diharamkan Islam.
Berbeda dengan ini adalah kaidah yang diajarkan secara sistematis dalam Budaya Barat, yaitu standar perbuatan baik dan buruk adalah manfaat (al-naf’iyah). Pahamnya bernama Pragmatisme atau Utilitarianisme, yang menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan dilihat dari ada tidaknya manfaat dari perbuatan itu. Walhasil, riba akan dianggap baik, karena bisa menimbulkan manfaat bagi pemungut riba (perbankan atau nasabah). Judi atau prostitusi akan dianggap baik, karena bisa menumbuhkan lapangan kerja dan menghasilkan income. Dan seterusnya. Tentu cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir sesat yang sangat bertentangan dengan Islam.
Penutup
Demikianlah sekilas beberapa kaidah dalam Islam yang sekiranya dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyikapi suatu budaya asing, entah itu Budaya Barat (Sekular) atau yang lainnya, semisal Budaya Marxisme.
Sesungguhnya upaya yang ideal adalah membentuk Budaya Islami seutuhnya, atau dengan kata lain membentuk cara kehidupan Islami secara total dalam sebuah sistem sosial bernama masyarakat Islam yang menjalankan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah). Namun tampaknya hal ini masih merupakan tujuan jangka panjang yang sayangnya belum dapat kita wujudkan saat ini.
Faktanya, kita saat ini masih berkubang dalam Budaya Barat yang sekular dalam segala seginya. Maka setidaknya kita harus berusaha istiqamah dalam Islam dan bertahan dari gempuran Budaya Barat yang destruktif dan berbahaya terhadap keislam kita ini. Lebih dari itu, kita pun harus berupaya untuk mengubah tatanan masyarakat sekular yang ada saat ini. Budaya Barat ini sudah saatnya kita hancurkan dan kita ganti dengan Budaya Islam. Tidak ada pilihan lain. [ ]
* Penulis adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta; Pengamat budaya
**Disampaikan dalam Seminar BBB (Bicang-bincang Budaya) bertema ”Budaya Islam vs Budaya Sekuler”, diselenggarakan oleh BEM Fakultas Budaya dan Bahasa Asing Universitas Muhammadiyah Semarang (BEM FBBA UNIMUS), Sabtu, 24 November 2007, di Gedung Balai Kota, Jl. Pemuda No. 148 Semarang
0 comments:
Post a Comment