13 March 2009

Membandingkan Pemilu dalam Sistem Islam dan Sistem Demokrasi

Oleh Abu Zaid

Sistem Islam berbeda dengan sistem demokrasi dari asasnya. Keduanya melahirkan sistem yang berbeda, bahkan bertentangan termasuk Pemilu. Dewasa ini Pemilu terlanjur menjadi ritual politik terpenting bagi rakyat, termasuk kaum Muslim. Di dalamnya tergantung harapan rakyat untuk memperbaiki kehidupan mereka. Akhirnya, kaum Muslim pun hanya melihat Pemilu dari sudut kemaslahatan semata, untung atau rugi; bukan dari sudut apakah Pemilu dalam sistem demokrasi itu benar atau tidak menurut Islam. Padahal, sudut inilah yang terpenting bagi seorang Muslim jika benar-benar ingin mencapai ridha Allah Swt.

Kedudukan Pemilu dalam Islam hanyalah salah satu cara untuk mengetahui kehendak rakyat, yang terkait dengan siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi kepala negara (khalifah) atau wakil rakyat dalam majelis umat. Pemilu bukanlah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, karena kedaulatan di tangan syariat (Allah), bukan di tangan rakyat yang tergambar dalam suara mayoritas. Yang wajib diperhatikan adalah bagaimana mengetahui pilihan rakyat dan kerelaan mereka hingga khalifah bisa dibaiat sebagai pelaksana al-Quran dan Sunnah Nabi saw. atau wakil-wakil rakyat yang duduk dalam majelis umat bisa terpilih. Sebaliknya, Pemilu dalam demokrasi merupakan metode pokok untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan suara mayoritas. Dengan kata lain, Pemilu dalam demokrasi wajib dilaksanakan agar kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat diwujudkan hingga wakil-wakil rakyat dalam legislatif dan kepala negara dapat terpilih. Selanjutnya, legislatif sebagai pemegang kedaulatan membuat hukum dan perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Jadi, kedudukan, fungsi, dan tujuan Pemilu dalam demokrasi berbeda dengan Pemilu dalam Islam (An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, hlm. 39-44).

Islam membedakan siapa saja yang menjadi pemilih dan yang berhak dipilih. Untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota majelis umat, seluruh rakyat ikut menjadi pemilih. Akan tetapi, non-Muslim memilih wakilnya dari kalangan non-Muslim. Kaum Muslim memilih wakilnya dari kalangan mereka. Hal ini terkait dengan perbedaan mendasar peran majelis umat dengan lembaga legislatif dalam sistem demokrasi. Majelis umat hanyalah wakil rakyat untuk menyampaikan kepentingan mereka kepada khalifah terkait dengan pelayanannya kepada rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Majelis umat tidak berfungsi untuk membuat UUD atau UU, karena kedaulatan sendiri ada di tangan syariat, bukan di tangan rakyat. Khalifah hanya tinggal melaksanakan al-Quran dan Sunnah Nabi saw. yang sudah tetap dan sempurna sejak 14 abad silam (An-Nabhani, ibid, hlm. 267-291).

Sebaliknya, lembaga legislatif dalam sistem demokrasi merupakan perwujudan kedaulatan rakyat hingga otomatis berperan untuk membuat hukum dan perundang-undangan. Benar dan salah, baik dan buruk, terpuji dan tercela, halal dan haram semuanya terserah kepada kehendak rakyat dengan mekanisme suara mayoritas rakyat, yang direpresentasikan oleh para wakil mereka di parlemen. Di sinilah pertentangan mendasar antara Islam dan demokrasi. Dengan perbedaan ini, Islam akan mengeliminasi demokrasi dan demokrasi akan mengeliminasi Islam, tidak mungkin bisa bersatu (Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, hlm. 29-38). Adalah hal yang wajar jika sistem demokrasi tidak pernah memberikan kesempatan kepada Islam untuk menang. Jika partai Islam—yang benar-benar ingin menerapkan syariat Islam kâffah— menang maka hasil Pemilu dianggap tidak sah, bahkan harus dibatalkan sekalipun harus dengan kekuatan senjata. Inilah yang terjadi di Aljazair dan Turki. Kebebasan dan jaminan HAM dalam sistem demokrasi pada akhirnya tidak berlaku untuk Islam dan kaum Muslim.

Ketika memilih kepala negara, yakni khalifah, Islam mensyaratkan bahwa yang memilih dan dipilih hanya kaum Muslim (Lihat: QS an Nisa’ [4]: 59 dan 141). Lagi pula, tugas khalifah adalah melaksanakan syariat Islam secara kâffah yang tidak mungkin akan sanggup diemban kecuali oleh seorang Muslim yang bertakwa. Adapun syarat-syarat sah agar seorang layak dipilih untuk dibaiat menjadi seorang khalifah adalah: Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka (bukan budak), dan mampu mengemban amanat khilafah (An-Nabhani, Sistem Khilafah, hlm. 32-40). Hal-hal lain yang dianggap syarat—seperti harus dari suku Qurays, harus mujtahid, harus pemberani, harus dari kalangan politikus ulung, dan lainnya—hanyalah syarat keutamaan. Artinya, jika seorang calon khalifah memiliki semua syarat sah dan syarat keutamaan maka dialah yang paling layak menjadi khalifah.

Khalifah bukan orang upahan rakyat sehingga dia tidak menerima gaji atas jabatannya, tetapi sekadar menerima tunjangan hidup sebatas kebutuhan diri dan keluarganya karena dia tidak dapat bekerja mencari penghidupan ketika mengemban tugas kekhilafahan. Rakyat tidak berhak membatasi masa jabatan khalifah. Berapa lama dia menjabat khalifah bergantung pada konsistensinya dalam melaksanakan al-Quran dan as-Sunnah serta kemampuannya mengemban tugas-tugas kekhilafahan. (An-Nabhani, op.cit., hlm. 47-133).

Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, kepala negara adalah orang yang diupah oleh rakyat untuk melaksanakan hukum dan perundang-undangan buatan mereka melalui lembaga legislatif. Inilah yang disebut kontrak sosial. Wajar jika rakyat berwenang untuk mengubah hukum dan perundang-undangan sekaligus memecat kepala negara kapanpun mereka kehendaki. Dalam demokrasi, syarat-syarat kepala negara ditentukan dengan suara myoritas dalam undang-undang. Seseorang yang sebetulnya tidak layak menjadi kepala negara sangat mungkin bisa menjadi kepala negara jika didukung oleh suara mayoritas rakyat.

Berikut ini adalah tabel perbandingan Pemilu dalam sistem demokrasi dan sistem Islam:


Bagan Perbandingan Pemilu

Kriteria

Sistem Demokrasi

Sistem Islam

Kedudukan & Fungsi Pemilu

Sebagai metode untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan pelaksanaannya wajib adanya. Dalam demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat yang diaplikasikan dengan suara mayoritas.

Hanya merupakan salah satu cara untuk mengetahui siapa khalifah yang akan di baiat dan wakil rakyat yang duduk dalam majelis umat. Pelaksanaan hukumnya mubah, tidak wajib. Dalam Islam, kedaulatan, wewenang membuat hukum, ada di tangan syariat, sedangkan kekuasaan yaitu wewenang pelaksanaan hukum ada di tangan umat.

Tujuan Pemilu

Memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga legislatif untuk membuat hukum dan perundang-undangan sebagai manifestasi kedaulatan rakyat atau memilih kepala negara untuk melaksanakan hukum dan perundang-undangan buatan rakyat sebagai manifestasi kekuasaan di tangan rakyat.

Mengetahui siapa wakil-wakil rakyat yang akan menjadi anggota majelis umat untuk menyampaikan kepentingan rakyat kepada khalifah dan mengontrol jalannya pemerintahan, bukan membuat hukum dan perundang-undangan. Mengetahui kehendak umat tentang calon khalifah yang mereka pilih, yang kemudian akan dibaiat untuk melaksanakan al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

Keterlibatan Rakyat dalam Pemilu

Seluruh rakyat berhak untuk memilih wakil rakyat dan kepala negara atau ditentukan berdasarkan suara mayoritas dalam undang-undang.

Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim berhak memilih wakil rakyat yang menjadi anggota majelis umat. Rakyat non-Muslim berhak memilih sesama mereka untuk mewakili kepentingan mereka. Demikian juga kaum Muslim; memilih sesamanya untuk mewakilinya sebagai anggota majelis umat. Namun, untuk memilih kepala negara yakni khalifah, khusus hanya hak dan kewajiban kaum Muslim.

Yang Berhak Dipilih

Kriteria siapa yang berhak dipilih ditentukan oleh suara terbanyak dengan undang-undang.

Kaum Muslim menjadi wakil bagi sesamanya, demikian juga bagi non Muslim. Sementara itu, untuk calon khalifah, ia harus memenuhi syarat-syarat, yaitu: Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Ditambah syarat keutamaan (bukan syarat wajib) yaitu mujtahid, Qurays, pemberani, politikus ulung, dan sebagainya.

Kepala Negara

Disyaratkan beragama tertentu sesuai undang-undang, misalnya di AS atau Inggris dan kebanyakan negara Barat kepala negara harus beragama Kristen atau Katolik.

Kepala negara yaitu kholifah dibai’at untuk melaksanakan al-Quran dan Sunnah Nabi saw. atau menerapkan Syariat Islam secara kaaffah untuk seluruh alam. Dia harus seorang Muslim.

Fungsi dan Tugas Wakil Rakyat

Merupakan wujud dari kedaulatan rakyat serta bertugas membuat hukum dan perundang-undangan atau pemegang kekuasaan legislatif. Hukum dan perundang-undangan inilah yang akan dilaksanakan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan.

Wakil rakyat hanya bertugas untuk menyampaikan kepentingan rakyat di daerah tertentu terkait dengan apa yang menjadi kemaslahatan mereka dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Wakil rakyat tidak bertugas membuat hukum dan perundang-undangan, karena kedaulatan ada di tangan syariat, bukan di tangan umat. Muslim menjadi wakil kaum Muslim dan non-Muslim menjadi wakil kaum non-Muslim.

Pembatasan Masa Jabatan Kepala Negara

Dibatasi untuk masa jabatan tertentu, misalnya 4 atau 5 tahun dengan undang-undang.

Tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu, bahkan bisa seumur hidup sebagaimana Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ia hanya dibatasi oleh konsistensinya terhadap hukum syara dan kemampuannya menjalankan tugas. Jika khalifah konsisten dalam melaksanakan al-Quran dan Sunnah Nabi saw. maka dia tetap memegang jabatannya walaupun seumur hidup. Jika dia menyimpang dan tak mau kembali maka dia harus diganti walaupun baru sehari menjabat.

Pemberhentian Kepala Negara

Rakyat berwenang memecat kepala negara dengan alasan apapun atau sesuai dengan undang-undang atau tidak karena undang-undang pun akan berubah jika rakyat menghendaki.

Rakyat tidak berhak memecat khalifah, kecuali dengan satu alasan, yaitu menyimpang dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw, Itupun diselesaikan oleh lembaga khusus, yaitu Mahkamah Mazhalim, yang berwenang menentukan sejauhmana penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah. Jika mekanisme ini tidak berjalan maka untuk menyelamatkan institusi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam kâffah, rakyat boleh menurunkan kepala negara dengan kekuatan senjata.

Daftar Pustaka:

Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.

Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Khilafah.

_____, Sistem Pemerintahan Islam.

Syaikh, Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur.

Ibn Hisyam, Sîrah Ibn Hisyâm.

Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthaniyyah.

Imam as-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’.

Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.[]




0 comments:

 
Fastabiqul khairat © 2007 Template feito por Templates para Você